Oleh : Dr Ir. Jamilah, MP
(GemaMedianet.com) | Kota Padang berada di bagian barat Pulau Sumatera, daerah ini merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Ditinjau dari biofisik lahannya, maka Kota Padang memiliki lahan berbukit terjal, landau hingga datar. Lahan datar <40% berpusat di kawasan hilir yang berhampiran dengan laut.
Secara geografi Kota Padang terletak di pesisir pantai barat Pulau Sumatra, dengan garis pantai sepanjang 84 km. Luas keseluruhan Kota Padang adalah 694,96 km², dan lebih dari 60% dari luas tersebut, sekitar ± 434,63 km² merupakan daerah perbukitan yang ditutupi hutan lindung, sementara selebihnya merupakan daerah efektif perkotaan.
Sedangkan keadaan topografi kota ini bervariasi, 49,48% luas wilayah daratan Kota Padang berada pada wilayah kemiringan lebih dari 40% dan 23,57% berada pada wilayah kemiringan landai (BPS, 2021).
Pada wilayah perkotaan yang padat penghuni tutupan lahan (hutan) sangat sedikit, sehingga potensial banjir (genangan) dan kebisingan. Saluran drainase pada beberapa lokasi perumahan tidak berfungsi dengan baik disebabkan masyarakatnya masih tidak mematuhi kepentingan hidup sehat dan lestari.
Sebagian besar Kota Padang berada dalam kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Arau, dimana terbentang sungai Arau (Batang Arau) yang cukup panjang mengalir dari hulunya Kabupaten Solok hingga berakhir di Kota Padang.
Kondisi ini diperparah dengan belum dilindunginya hutan lindung sebagai pengatur tata air, karena berobah status jadi hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain (APL), yang ditunjukkan oleh tumpang tindihnya kebijakan dan kurangnya sinergis antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS (Utama, Mizwar, & Prayitno, 2021).
Komitmen pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air yang terlihat dengan nyata dalam “Deklarasi Nasional Pengelolaan Air” yang efektif sesuai dalam Kegiatan Penanggulangan Bencana yang dihadiri oleh 12 Menteri pada Tahun 2004 tersebut ternyata belum terlaksana dengan baik.
Kegiatan penyelamatan air merupakan proses jangka panjang dan perlu komitmen dari berbagai pihak, sehingga diperlukan program kerja penyelamatan air yang sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan, khususnya oleh masyarakat.
Salah satu terobosan yang diberikan dalam pelaksanaan konservasi tanah dan air adalah pembangunan model Kampung Ramah Air Hujan (KRAH) (Kehutanan, 2021).
Berdasarkan analisis indikator dari Jumlah Hari Tanpa Hujan (JTH), Intensitas Curah Hujan (ICH), dan Indeks Penggunaan Air (IPA) yang buruk, maka ada 3 kecamatan dan 10 kelurahan yang direkomendasikan sebagai lokasi kegiatan penerapan Kampung Ramah Air Hujan (KRAH), diantaranya berada dalam sub DAS Batang Arau dan sub DAS Banjir Kanal.
Penetapan rekomendasi kegiatan dilakukan berdasarkan permasalahan pada masing-masing kelurahan tersebut, sesuai dengan hasil penilaian analisis dan indikator. Beberapa kegiatan dikhususkan untuk memanen air hujan sebanyak-banyaknya dan menjaga siklus hidrologi khususnya pada areal terbangun.
Kegiatan Instalasi Pemanenan Air Hujan (IPAH) beserta sumur resapan dangkal direkomendasikan dapat menampung air hujan, sehingga air tampungan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari air masyarakat. Selain penggunaannya untuk kebutuhan warga juga bisa digunakan pada tanaman untuk pengairan, dan membuat taman sayuran hidroponik, yang membutuhkan air dalam jumlah banyak.
Dari hasil analisis tersebut, maka diperoleh kawasan yang diprioritaskan yaitu Kelurahan Parak Laweh Pulau Air Nan XX, Kota Padang.
Dari hasil analisis lapangan melalui pemetaan, maka diketahui Kelurahan Parak Laweh Pulau Air Nan XX, dapat dibangun 861 unit IPAH; 861 unit sumur resapan dangkal; 86 unit sumur resapan dalam, dan 12,9 hektar dilakukan penghijauan.
Kegiatan sosialisasi pembangunan KRAH telah dilakukan pada 3 November 2022 di Kelurahan Parak Laweh Pulau Air Nan XX, Kota Padang yang didukung oleh BPDASHL Agam Kuantan. Nara sumber antara lain; Prof Isril Berd (sebagai ketua Forum DAS Sumbar dan Kota Padang); Dr. Sunadi dan Dr. Jamilah dari Universitas Tamansiswa Padang; Dr. Junaidi dan Dr. Zuherna Mizwar dari Universitas Bung Hatta; dan Dr Agus Teguh Prihartono dari STIKES Indonesia.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh warga dari berbagai RT dan RW, Lurah dan perangkat lurah, ketua RW dan RT di kelurahan tersebut.
Sosialisasi dilakukan dengan ceramah di ruangan kantor lurah, selanjutnya dilakukan diskusi dan mendengarkan keluhan serta permintaan warga.
Hasil Kegiatan;
Dari hasil survey lapangan terbukti di Kelurahan Parak Laweh Pulau Air Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung ada lokasi yang mengalami banjir atau genangan yang cukup tinggi yang popular disebut sebagai “Pulau Terlena”. Lokasi ini akhirnya memang tidak didirikan bangunan karena sering sekali mengalami banjir atau genangan. Jika memungkinkan dalam program KRAH, bisa diwujudkan pembuatan kolam retensi di kawasan tersebut. Namun perlu dipastikan luasnya berapa dan jika memungkinkan akan dibuat kolam retensi di sana.
Penetapan kolam retensi berdasarkan surat edaran pedoman No: SE.1/ PDASHL/SET/DAS.1/3/2021 tentang pedoman pembangunan model Kampung Ramah Air Hujan (KRAH) harus memenuhi kriteria lokasi kolam retensi adalah sebagai berikut: Topografi bergelombang dengan kemiringan ; Air tanah sangat dalam; Diutamakan tanah liat berlempung atau lempung berdebu; Pembangunan kolam retensi diprioritaskan di dekat lokasi pemukiman dan lahan pertanian/perkebunan; Lokasi embung dapat dibangun pada hutan dan lahan yang rawan kebakaran dan kekeringan. Sehingga perlu ada kajian selanjutnya yang intensif dan akurat.
Dalam KRAH selain kolam retensi juga ada direkomendasikan pembangunan Instalasi Pemanenan Air Hujan (IPAH) yaitu sistim penampungan air hujan yang berasal dari atap rumah lalu dimasukkan ke dalam tendon air yang cukup. Secara umum masyarakat sangat berminat untuk dipasang unit IPAH karena sudah tahu manfaatnya.
Akan tetapi kemudian muncul beberapa pertanyaan dari warga menyangkut kualitas air yang ditampung dalam instalasi IPAH, mengingat bahwa sering ada hewan yang membuang kotoran di atap rumah, yang mana dijadikan lokasi pemanenan air hujan.
Selanjutnya pertanyaan juga muncul bagaimana kalau tandon air yang dijadikan tempat penampungan air tersebut tidak mampu lagi menampung air, namun demikian lokasi tersebut tidak memiliki parit drainase, apakah tidak menimbulkan masalah baru lagi?
Hal ini tentu saja sudah difikirkan oleh designernya bagaimana pipa penyaluran tidak langsung dimasukkan ke dalam tandon air, saat pertama hujan turun, dan harus dilakukan perhitungan dengan matang, agar air yang telah dipanen benar-benar bersih sesuai baku mutu air yang layak minum.
Jika pembangunan IPAH dapat dilaksanakan swadaya masyarakat, sudah pasti air limpasan permukaan semakin menurun, sehingga saluran drainase tidak memiliki fluktuasi muka air yang cukup besar. Selanjutnya akan mengurangi rembesan parit drainase, hingga ke jalan kompleks.
Selanjutnya sehubungan dengan volume tandon air penampung air hujan, itu juga sudah diperhitungkan sehubungan dengan (Direktorat Pengendalian Kerusakan Perairan Darat, 2021) dengan membuat tandon air memiliki volume 1,5 m3 untuk luas tutupan <50 m2, maka jika tutupan lebih luas dari ukuran tersebut, tentu saja ukuran tandon diperbesar atau ditambah. Untuk sumur resapan juga demikian, jika volume berlebih juga ada saluran pelimpah yang dialirkan ke saluran drainase.
Oleh sebab itu penting setiap rumah memiliki saluran drainase. Masyarakat juga sangat mengharap sekali, agar parit drainase dibangun dan dipelihara serta adanya penertiban sampah yang tidak lagi mengganggu lingkungan serta kesehatan.
Diharapkan dengan adanya IPAH mampu menjawab permasalahan warga yang selama ini terjadi jika hujan, maka aliran air PDAM akan berhenti, sehingga cadangan air yang telah dikumpulkan dari IPAH dapat optimal termanfaatkan untuk kebutuhan warga sehari-hari. Sumur Resapan juga bagian dari program KRAH, agar air tawar semaksimal mungkin dimasukkan ke dalam tanah melalui sumur resapan tersebut.
Namun demikian (Rahmi, Widjajanti, & Poedjioetami, 2019) mengingatkan bahwa ada beberapa persyaratan dalam perancangan bangunan KRAH harus memenuhi syarat sebagai berikut; dapat menyesuaikan dengan lingkungan alam setempat, hemat sumber energi alam, memelihara sumber–sumber alam (udara, tanah, dan air), memperhatikan dan memelihara peredaran alam.
(Azwarman, Susiana, & Hidayah, 2018) menyatakan bahwa dalam membangun sumur resapan perlu menampung air hujan agar meresap ke dalam tanah agar tidak terjadi banjir, melindungi dan memperbaiki kualitas air tanah dan untuk menghindari terjadinya erosi.
Persyaratan umum sumur resapan yang harus dipenuhi berdasarkan (SNI No. 03-2453-2002), antara lain sebagai berikut : 1. Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar. 2. Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan yang tidak tercemar 3. Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya. 4. Harus memperhatikan peraturan daerah setempat. 5. Hal–hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui instansi yang berwenang.
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi : (SNI No. 03-2453-2002) 1. Kedalaman air tanah minimum 1,50 m pada musim hujan. 2. Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan.
Persediaan air yang cukup di musim kemarau yang sudah tersedia dalam tendon air dalam sintalasi IPAH dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga warga dan pengairan tanaman, baik tanaman pekarangan maupun budidaya hidroponik.
0 comments:
Posting Komentar