PADANG (GemaMedianet.com) | Kondisi interaksi sosial di tengah masyarakat hari ini mengundang beragam kerisauan dari tokoh-tokoh masyarakat. Kato nan ampek (kata yang empat) yang merupakan etika dalam berkomunikasi di Minangkabau, tak lagi menjadi rambu-rambu dalam berinteraksi sosial.
Hal itu terungkap dalam sesi penyampaian aspirasi masyarakat pada kegiatan reses masa persidangan pertama tahun 2022 Anggota DPRD Kota Padang Zalmadi, S.Hum yang digelar di halaman Rumah Gadang Rimbo Tarok, Kelurahan Sungai Sariak, Kecamatan Kuranji, Minggu (16/1/2022) malam.
Di kesempatan itu Zamrus Rajo Magek, salah seorang tokoh masyarakat mengungkapkan kerisauannya terhadap kondisi interaksi sosial yang terjadi akhir-akhir. Seperti Kato Nan Ampek, tidak sedikit generasi hari ini yang mulai melupakan etika berkomunikasi di Minangkabau.
Kato Nan Ampek itu terdiri dari Kato Mandaki, Kato Malereang, Kato Mandata dan Kato Manurun.
Dijelaskan, Kato Mandaki merupakan etika berbicara dengan orangtua, yakni bertutur kata dengan sopan dan menunjukkan rasa hormat.
Selanjutnya, Kato Malereang yang merupakan etika berbicara dengan orang yang dituakan secara adat atau orang-orang terhormat dari status status sosial yang disandangnya. Contohnya berbicara dengan saudara ipar, dengan seseorang yang memiliki latar belakang status sosial tertentu, seperti datuak, tanpa memandang usia.
Ketiga, Kato Mandata, yang merupakan cara bertutur kata kepada teman sebaya. Meskipun seusia, namun kata yang diucapkan tetap harus dalam koridor saling menghargai dan tidak menyinggung satu sama lain.
Keempat, Kato Manurun yang digunakan saat berbicara kepada orang yang lebih muda, seperti orangtua kepada anak, kakak kepada adik atau guru kepada siswa dan lainnya.
"Ini merupakan ganjalan dalam hati kami generasi tua sejak lama tentang kondisi regenerasi adat dan budaya Minangkabau," ujarnya.
Sementara Adat dan budaya itu sendiri telah diwarisi sejak lama dari nenek moyang kemudian berlanjut dari generasi ke generasi. Namun kondisi itu kini terganjal dengan perkembangan zaman, dimana adat dan budaya itu dipandang sebagai suatu hal yang usang dan kolot.
Padahal, adat dan budaya itu pada hakekatnya menciptakan tata tertib dan kedamaian di tengah masyarakat. Jika hal itu terus dibiarkan, maka ke depan adat dan budaya Minangkabau akan hilang ditelan zaman.
Harapan agar tak lapuk dek hujan tak lekang dek paneh itu sempat membuat generasi tua cukup berbangga hati dengan adanya pelajaran "Budaya Adat Minangkabau (BAM)" di sekolah sekolah.
Sayang, kebanggaan generasi tua tiba-tiba direnggutkan begitu saja. BAM tak lagi diajarkan di Sekolah-sekolah. Tak ada lagi pengajaran budaya dan adat Minangkabau, yang darinya generasi muda dapat mengetahui dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Untuk itu generasi tua berharap kepada pemerintah daerah melalui anggota DPRD Kota Padang Zalmadi, agar mengembalikan BAM ke sekolah-sekolah.
"Kembalikan lagi BAM ke sekolah-sekolah. Tidak dapat secara umum untuk Kota Padang, paling tidak khusus di Kecamatan Kuranji," tukas Zamrus Rajo Magek.
Apa yang disampaikan Rajo Magek itu mendapatkan dukungan dari ketua LKAAM Kuranji Hendri Yazid Dt Rj Diguci.
"Kita sangat mendukung usulan tokoh masyarakat tersebut, apalagi peran LKAAM memang untuk mensosialisasikan pelestarian budaya dan adat Minangkabau," ujarnya.
Dia menyebut, secara internal di KUA, khususnya KUA Kuranji, para pengantin baru disuguhi dengan budaya dan adat Minangkabau.
"Ke depan dengan usulan tokoh masyarakat ini kira akan ikut serta menyuarakannya ke sekolah-sekolah," tuturnya.
Dalam kegiatan reses itu juga muncul berbagai usulan lainnya, diantaranya kebutuhan Mobiler Sekretariat Basurah Adat, bantuan operasional Basurah Adat, dan Lomba Basurah Adat. (mz)
0 comments:
Posting Komentar