JAKARTA (GemaMedianet.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menilai SKB 3 Menteri tentang aturan seragam sekolah beratribut agama bertentangan dengan undang-undang. Pertama, yaitu Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis mengungkapkan, bahwa penggunaan hijab di sekolah merupakan bentuk kemerdekaan murid yang memeluk agama Islam.
Sehingga menurutnya, diktum ketiga dalam SKB 3 Menteri kurang tepat.
"Menurut kami, kasus di Padang memang salah. Siswi non muslim seharusnya jangan disuruh pakai hijab, namun sebaliknya, seorang muslim juga tidak boleh dilarang untuk berbusana muslim. Dalam diktum ketiga SKB 3 Menteri kan sekolah/pemda tidak boleh mewajibkan," kata Cholil dalam diskusi publik yang disiarkan di youtube FNN TV pada Minggu malam (21/2/2021).
Seperti yang diketahui, dalam diktum ketiga SKB 3 Menteri tersebut tertulis bahwa Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan atau pun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Padahal kata Cholil, dalam agama Islam, seorang muslim harus mengikuti syariat Islam. Yang mana bagi muslimah yang sudah baligh, wajib untuk menutup auratnya.
"Syariah itu kepada muslim, bukan nonis. Nah, masalah yang paling krusial kan sekolah mengimbau saja tidak boleh, padahal menurut agama itu wajib. Bagi saya ini sangat menghilangkan aspek agama," kata pria 45 tahun yang akrab disapa Kiai Cholil itu.
Selain itu, bukan hanya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 saja, menurutnya SKB 3 Menteri juga bertentangan dengan Pasal 29 ayat 1 huruf A UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berbunyi, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
"Dalam poin ini, murid bisa mendapatkan pendidikan agama sesuai agamanya dan ajaran dari gurunya yang seagama. Nah, dalam SKB 3 Menteri (Poin 3 dan 4) menyerukan (pakai busana muslim) saja tidak boleh bagaimana mau mendapatkan pendidikan agama dengan baik, tentu akan sulit," kata dia.
Sebagai informasi, bunyi poin keempat SKB 3 Menteri yakni, Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
Selain itu, aturan yang bertentangan lainnya kata Cholil, yakni Pasal 3 ayat 4 huruf D Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014, yang berbunyi, pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.
"Jadi jelas ya dalam pasal tersebut, aturan mengenai seragam sekolah menjadi kewenangan masing-masing sekolah dengan memperhatikan agamanya. Nah dalam SKB 3 Menteri kan sekolah dan Pemda tidak berwenang untuk mengatur," ujarnya.
Menurutnya, jika tujuan dari SKB itu untuk meningkatkan rasa toleransi dan mewujudkan kebhinekaan, maka dia menilai SKB tersebut harus direvisi. Karena pola pikir yang salah mengenai dua hal tersebut.
"Sekarang, orang yang menampakkan identitasnya dibilang tidak bhineka atau tidak toleransi, padahal dalam uang Rp75.000 yang baru itu gambarnya pakai baju adat masing-masing daerah yang berbeda dan diakui kebhinekaannya. Nah agama pun begitu," ujarnya.
"Kalau kita bertemu umat beragama lain, biarkan saling berdoa dengan agamanya masing-masing tanpa melepas identitasnya (bajunya). Kalau dilepas namanya bukan bhineka, namanya itu seragam. Ini malah bukan toleransi," jelasnya.
Seperti yang diketahui, SKB 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu telah menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. SKB 3 Menteri ini disahkan pasca kasus pemaksaan penggunaan hijab pada siswi non muslim di Padang, Sumatera Barat.
(mdk/ray)
0 comments:
Posting Komentar