Rapat paripurna pengesahan di tengah gelombang protes buruh dan aktivis lingkungan ini maju tiga hari dari rencana dengan alasan meningkatnya kasus Covid-19 di DPR.
Para penentang Omnibus Law ini berencana menggelar unjuk rasa besar-besaran dengan mogok massal pada 6-8 Oktober 2020. Tampaknya DPR RI dan pemerintah mencoba mencuri start, meski tidak diakui.
"Tadi disepakati Bamus DPR karena laju Covid-19 di DPR terus bertambah, maka penutupan masa sidang dipercepat. Sehingga mulai Selasa (6/10) tidak ada aktivitas lagi di DPR RI," ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi kepada Antara.
Pemerintah bersama DPR RI dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) telah selesai membahas dan menyepakati materi RUU Cipta Kerja pada Sabtu malam (3/10) dan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Pada Senin pagi, Ahmad Baidhowi masih mengatakan, RUU sapu jagat tersebut akan dibawa dan dibahas dalam Rapat Paripurna pada 8 Oktober mendatang. Namun rencana berubah pada siang harinya.
Dalam sidang paripurna yang digelar mulai pukul 15.00 WIB, DPR dan Pemerintah sepakat RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang. Turut hadir dalam rapat Menko Perekonomian Airlanga Hartarto, Menaker Ida Fauziyah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Menkum HAM Yasonna Laoly.
Pengesahan dilakukan setelah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Dari 9 fraksi yang ada, sebanyak 6 fraksi menyetujui RUU Cipta Kerja, 1 fraksi yaitu PAN menyetujui dengan catatan, sementara Fraksi Demokrat dan PKS menyatakan menolak.
Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, sebelumnya membacakan laporan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja dilaksanakan dalam 64 kali rapat, termasuk saat masa reses. "Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali: 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat timus/timsin," ujar Supratman.
Menurut dia, hal-hal pokok yang mengemuka dan mendapatkan perhatian secara cermat dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan selanjutnya disepakati, antara lain terkait dengan dikeluarkannya tujuh undang-undang dari RUU, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
"Ada 15 bab dan 185 pasal yang mengalami perubahan dari sebelumnya 15 bab dan 174 pasal," katanya.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengapresiasi pembahasan RUU Cipta Kerja di Baleg DPR secara terbuka.
"Alhamdulillah, sore hari ini UU itu diketok oleh DPR. Rapat dilakukan secara intensif terbuka lebih dari 64 kali rapat dan mengapresiasi kerja keras dari panja maupun Baleg untuk terus menerus melakukan proses ini. Proses sudah dilakukan secara transparan seperti tadi disampaikan Ketua Baleg. Kami atas nama pemerintah mengapresiasi kerja Parlemen, kerja DPR," katanya
Pengurangan Pesangon PHK
Dalam rapat Sabtu, pemerintah dan DPR menyepakati pengurangan pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diterima karyawan melalui klaster ketenagakerjaan.
Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Kemenko Perekonomian Elen Setiadi dan Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengusulkan, penghitungan pesangon PHK diubah menjadi paling besar 19 kali upah ditambah 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Sehingga total penghitungan pesangon menjadi 25 kali upah dari sebelumnya maksimal 32 kali upah tergantung masa kerja.
Menurut Elen, saat ini pesangon PHK di Indonesia terbilang besar jika dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam dan Malaysia. Hal ini ditengarai menjadi penyebab investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia. Kendati demikian, Elen mengatakan bahwa ketentuan mengenai syarat PHK tetap merujuk pada UU Ketenagakerjaan. Sehingga menurutnya tidak akan terjadi PHK massal tanpa alasan jelas.
"Dalam perkembangan dan memperhatikan kondisi saat ini, terutama dampak pandemi Covid-19, maka beban tersebut diperhitungkan ulang. Penghitungannya adalah sebagai berikut, yang menjadi beban pelaku usaha atau pemberi kerja maksimal 19 kali gaji ditambah dengan JKP sebanyak 6 kali," katanya dalam Rapat Kerja, Sabtu (3/10).
Elen menjelaskan nantinya dalam perhitungan ini, JKP sepenuhnya akan dikelola oleh pemerintah. Melalui JKP, pemerintah mengklaim juga akan memberikan manfaat berupa upscaling, dan upgrading bagi pekerja yang di-PHK. "Kalau di Undang-Undang existing (UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003) hanya mendapatkan semacam uang saja. Nah, di JKP programnya tiga, yakni cash benefit, upscaling, dan upgrading," paparnya.
RUU Cipta Kerja sejak awal ditentang buruh, karena dinilai merugikan mereka. Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) serta Jaringan Aliansi Tingkat Provinsi-Kota akan melakukan aksi demo dan mogok kerja di berbagai daerah pada 6 sampai 8 Oktober 2020 untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.
Menurutnya, keputusan aksi di tengah situasi pandemi Covid-19 ini diambil lantaran tidak adanya itikad baik dari pemerintah maupun DPR RI terkait Omnibus Law. “Wakil rakyat dan pemerintah sudah tidak lagi peka terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Mau tidak mau di masa pandemi, saat rakyat khawatir masalah kesehatan dan keselamatan tetapi kita dipaksakan untuk turun ke jalan. Dipaksa harus melawan karena tidak ada itikad baik,” ujarnya.
Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah mengatakan, meski situasi pandemi ini menyulitkan untuk melakukan aksi, tetapi menurutnya sudah tak ada lagi cara lain yang bisa dilakukan untuk menghentikan pembahasan RUU sapu jagat tersebut. Karenanya ia akan tetap melakukan perlawanan dengan turun ke jalan.
“Pemogokan atau aksi perlawanan yang dilakukan gerakan rakyat itu adalah wujud dari penegasan terhadap posisi penolakan terhadap Omnibus Law,” katanya.
Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyayangkan keputusan DPR RI dan pemerintah mengesahkan RUU tersebut. Pasalnya Timboel menilai pembahasan terkait klaster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker pun belum maksimal.
Menurutnya, pemerintah dan DPR melakukan pembahasan tersebut karena kejar tayang untuk segera disahkan. Akibatnya RUU tersebut sangat merugikan pekerja karena perlindungan terhadap mereka semakin menurun. Ia juga khawatir perusahaan akan membuka seluas-luasnya sistem kontrak dan outsourcing, padahal opsi ini membuat tidak adanya kepastian kerja bagi para karyawan.
"Hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan didegradasi oleh UU Cipta Kerja ini," ungkapnya.
Selain itu, Timboel menilai, ada sejumlah hal yang memberatkan untuk pekerja. Yakni, aturan terkait perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), upah minimum, proses dan kompensasi PHK, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) diserahkan ketentuan detailnya ke Peraturan Pemerintah (PP), bukan kepada undang-undang.
Timboel berpendapat, seharusnya persoalan terkait dengan hak para pekerja merupakan ranah DPR untuk ikut memastikannya, bukan hanya menyerahkan ke pemerintah. Dalam hal ini jelas DPR mengabaikan fungsi legislasi yang dimilikinya.
"DPR mengabaikan fungsi legislasi yang seharusnya justru mereka lebih kuat, bagaimana pembahasan ini untuk mendapatkan norma undang-undang yang berkualitas," tuturnya.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan pihaknya juga menolak pengurangan nilai pesangon PHK.
Said juga mempertanyakan sumber pendanaan milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dalam membayar upah buruh. Ia pun menilai skema pemberian pesangon oleh perusahaan dan pemerintah melalui JKP tidak masuk akal, karena sumber dana yang tidak jelas.
“Dari mana BPJS mendapat sumber dananya? Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru yaitu 23 bulan upah dibayar pengusaha dan 9 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan tidak masuk akal," katanya dalam keterangan tertulis. Karena tanpa membayar iuran, tapi BPJS membayar pesangon buruh 9 bulan, katanya.
Tanggapan Pemerintah
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim Undang Undang Cipta Kerja justeru akan memberi jaminan kepada tenaga kerja jika terjadi PHK. Menurutnya, melalui RUU tersebut pemerintah berupaya hadir untuk masyarakat usia kerja.
Salah satunya dengan menyiapkan antisipasi, jika korban PHK tidak segera mendapatkan pekerjaan, yaitu memberikan pelatihan dan bantuan gaji selama enam bulan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan melalui format asuransi.
"Ini yang belum pernah terjadi. Sebelumnya hanya ada jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua. Siapa yang menjamin apabila terjadi PHK?," katanya dalam keterangan tertulis.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, Aditya Perdana mengungkap ada 3 hal yang secara umum terlihat dari proses pengesahan Omnibus Law. Yang pertama adalah minimnya partisipasi publik terutama pelibatan LSM.
“Ketika ‘pembahasan’ Omnibus Law ini mulai dilakukan, langkah politik yang diambil Presiden dan para menterinya adalah membatasi ruang partisipasi publik tersebut,” kata Aditya kepada Lokadata.id
Yang kedua adalah pengalihan isu. Menurut Aditya, banyak pembahasan dalam Omnibus Law yang harus dipantau tidak hanya pada buruh. Namun pemerintah berhasil menahan isu-isu tersebut, sehingga permasalahan seakan menjadi sektoral fokus pada buruh.
Sorotan Aditya ketiga, adalah pemerintah seakan memanfaatkan situasi Covid-19 ini. Menurutnya, pembahasan draft di DPR biasa dalam kondisi normal membutuhkan waktu lama. Ketika pembatasan akibat Covid-19 diterapkan, Aditya mengatakan ada dalih pemerintah mengatakan bahwa pandemi tidak akan menghentikan kinerja mereka. Ada daerah ‘gelap’ yang tidak terlihat publik dan pemerintah memanfaatkan ini untuk mempercepat pengesahannya.
Dihubungi secara terpisah, pakar kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai peraturan yang masih perlu dikaji ulang di luar isu ketenagakerjaan, yaitu masalah perizinan satu pintu lewat Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Trubus menggambarkan, bila sampai perizinan hanya ada di pusat, daerah tidak punya wewenang untuk menolak kehadiran investor di daerahnya, sekalipun investor tersebut merugikan daerah tersebut atau tidak punya kerja sama yang baik dengan daerah. Termasuk investor pertambangan misalnya.
“Persoalannya daerah tidak tahu siapa investor yang akan datang. Yang dituntut daerah ya transparan saja perizinannya bagaimana, perlu ada keterlibatan publik, dimana masyarakat daerah juga harus dilibatkan. Kalau itu dilanggar, ya bagaimana?” ujar Trubus saat dihubungi Lokadata.id
Pengesahan RUU Cipta Kerja disambut positif pelaku pasar.Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin sore ditutup di zona hijau.
IHSG ditutup menguat 32,04 poin atau 0,65 persen ke posisi 4.958,77. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 bergerak naik 4,23 poin atau 0,56 persen menjadi 755,09.
"Penguatan IHSG hari ini didukung adanya indikasi bahwa RUU Cipta Kerja akan disahkan secepatnya dan adanya pemberitaan mengenai perkembangan kesehatan Trump yang semakin membaik," kata Analis Indo Bina Artha Sekuritas M Nafan Aji Gusta Utama kepada Antara di Jakarta. (*)
Editor : Uki Ratlon l Lokadata
0 comments:
Posting Komentar