(GemaMedianet.com) — Luar biasa, seru dan menarik. Tiga kalimat ini terlintas di pikiran saya terkait perseteruan antara Dewan Pers Indonesia (DPI) dengan Dewan Pers, yang hingga kini terus menghangat.
Sebelum saya memulai tulisan ini, baiknya kita teropong dulu bahwa DPI terbentuk berawal dari Musyawarah Besar Pers Indonesia tahun 2018 dan Kongres Pers Indonesia tahun 2019.
Setelah melewati proses yang cukup panjang dan melelahkan, Dewan Pers Indonesia atau DPI akhirnya resmi disahkan melalui keputusan Kongres Pers Indonesia 2019 waktu itu. Tentunya, umur DPI masih sangat muda jika dibandingkan dengan Dewan Pers.
Kehadiran DPI telah membawa angin segar bagi insan pers tanah air yang berada di luar konstituen Dewan Pers.
Faktanya, hingga kini ribuan media/ perusahaan pers telah tergabung dalam organisasi ini (DPI). Saya menyimpulkan bahwa DPI adalah pahlawan terhadap ribuan Perusahaan Pers. Bagi saya kesimpulan ini bukanlah hal yang berlebihan.
Perseteruan tersebut ibarat dua orang petinju, antara DPI yang merupakan organisasi independent nan masih muda belia. Sedangkan Dewan Pers dengan usianya yang sudah sangat dewasa, namun kewalahan menghadapi kecerdasan dan kepiawaian DPI. Salah satu persepsi menarik yang terasa saat ini, yakni Dewan Pers dengan pengalaman panjangnya seakan terbaca, seperti dibuat kocar kacir menghadapi kepiawaian DPI.
Seperti diketahui, pernyataan terkhir Ketua Dewan Pers M. Nuh yang menyebutkan “Media Abal-abal Gerogoti APBD, Ini Peringatan Dewan Pers” yang di publish oleh beberapa media, salah satunya media online fajar.co.id.
Dalam penulisannya menjelaskan “ada dua jenis verifikasi, yakni administrasi dan faktual. Media profesional adalah yang telah memenuhi unsur keduanya. Peraturan Dewan Pers No: 03/PERATURAN-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dengan gamblang memerinci persyaratan sebuah perusahaan pers”.
Temuan Fajar, ada beberapa pemda yang menjalin kontrak kerja sama dengan media abal-abal. Media abal-abal diartikan sebagai media yang tidak bermutu baik alias tak memenuhi standar perusahaan pers, tulis media tersebut.
Atas pernyataan Ketua Dewan Pers M. Nuh sekaligus akibat ulah tulisan kontroversial media online fajar itu, membuat ribuan media online dan media cetak yang tergabung di DPI (Dewan Pers Indonesia), meradang.
Wilson Lalengke dan Heintje G. Mandagie dengan keras, membalas balik. Melalui pernyataannya, seakan menampar telak. Sehingga si objeknya dipersiapkan melalui publikasi oleh banyak insan pers, benar benar dipermalukan. Artinya, ibarat di sebuah ring tinju, sekali petinju melayangkan tinjunya membuat gigi dan rahang lawan patah kerontang.
Seperti diketahui, balasan pernyataan dua Tokoh Pers Nasional tersebut banyak dimuat oleh media online. Decak kagum dibenak saya, menjadikan jari tangan saya mengacungkan jempol setinggi tingginya.
Saya akui, jauh waktu sebelumnya, saya memang bangga menjadi bagian dari DPI. Kebanggaan itu semakin bertambah, usai dipublishnya pernyataan terbaru kedua Tokoh Pers Nasional (Wilson Lalengke dan Heincje Mandagi) ini di banyak media.
Pada pemberitaan selasa kemaren, yang kini telah menjadi trending topik melalui judul mengigitnya “DP Ibarat Kambing Bandot Sedang Birahi”.
Dewan Pers (DP) saat ini tidak ubahnya seperti seekor kambing bandot (jantan berumur lansia) yang sedang birahi, kebelet mau kawin. Urainya, dalam isi tulisan itu.
Pernyataan (pemberitaan) yang telah viral tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S,Pd, M.Sc, MA kepada banyak media, sebagai respon atas kisruh pernyataan Ketua Dewan Pers M. Nuh. (Kesimpulan respon ini, juga dikutip dari banyak sikap insan pers yang tergabung dalam DPI).
Bagi Wilson, kata dia dalam pemberitaan itu, ucapan yang dilontarkan M. Nuh adalah provokatif.
Begitu juga tulisan Heintje G. Mandagie yang juga dipublish serentak pada Selasa kemaren, (17/02/20) dengan judul “Ada Peluang Besar di Antara “Pelacur Pers, Pengemis Sakti dan Dewan Pers”.
Nah, melalui tulisan ini tanpa ada unsur provokasi, saya mempertanyakan? Apakah mental dan pola pikir rekan rekan media yang tergabung dalam DPI, seirama dan semakin bersemangat seperti kedua tokoh kita ini atau sebaliknya, menciut?.
Sebenarnya, kita tidak mau ikut verifikasi Dewan Pers, bukan berarti tidak mampu. Akan tetapi, ada persoalan harga diri yang menjadi pertimbangan tersendiri dalam hal itu. Sebab, secara keseluruhan banyak media yang tergabung dalam DPI (Non DP) merupakan para senior hebat dan wartawan kritis. Sejatinya, untuk tunduk kepada DP bukanlah pilihan, tapi untuk tunduk pada kebenaran merupakan pilihan utama.
"Jangan mengaku cinta NKRI, jika masih bisa diatur oleh secuil kekuasaan. Dan jangan mengaku benar, bila membiarkan penindasan terjadi".
Oleh : Yohandri Akmal
(Praktisi Pers)
0 comments:
Posting Komentar