PADANG, (GemaMedianet.com)
— Nama Djamaluddin Adinegoro tak bisa dilepaskan pada setiap peringatan Hari Pers di negeri ini. Terlebih lagi pada puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2018 yang dipusatkan di Sumatera Barat, Kota pada pada 9 Februari mendatang menjadi momen yang istimewa bagi masyarakat Minangkabau. Bagai Pinang kembali ke tampuknya.
Siapakah Adinegoro atau Djamaluddin Adinegoro itu sebenarnya? Yuk! kita telusuri.
Djamaluddin Adinegoro, terkadang dieja Adi Negoro (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Siapakah Adinegoro atau Djamaluddin Adinegoro itu sebenarnya? Yuk! kita telusuri.
Djamaluddin Adinegoro, terkadang dieja Adi Negoro (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Nama
aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Maradjo
Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak,
tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya
bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia
memiliki seorang istri bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Diatas,
Solok, Sumatera Barat.
Pada masa mudanya Adinegoro
terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di STOVIA ia tidak
diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat
tinggi. Maka digunakan nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya
yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan
tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar
Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih
terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
Adinegoro
sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman. Ia mendalami
masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari kartografi,
geografi, politik, dan geopolitik. Tentu saja pengalaman belajar di Jerman itu
sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang
jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada
sastrawan.
Ia
memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap.
Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah
tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan
bebas pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka
(Batavia).
Setelah
kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka pada tahun 1931.
Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia
memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin
Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia
memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan
Pers Biro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional
(kemudian menjadi LKBN Antara).
Pada
25 Agustus 1932 Adinegoro menikah dengan Alidar binti Djamal, seorang wanita
dari Sulit Air, Solok, Sumatera Barat, temannya dari STOVIA. Mereka dikaruniai
lima anak.
Selama masa kolonialisme Belanda dan kemudian Jepang, meskipun hidup kekurangan, Adinegoro memiliki komitmen tinggi sebagai wartawan dan sastrawan. Ia juga berhasil menyelesaikan dua novel: Darah Muda dan Asmara Jaya.
Selama masa kolonialisme Belanda dan kemudian Jepang, meskipun hidup kekurangan, Adinegoro memiliki komitmen tinggi sebagai wartawan dan sastrawan. Ia juga berhasil menyelesaikan dua novel: Darah Muda dan Asmara Jaya.
Dalam
sebuah editorial Pewarta Deli, Adinegoro pernah mengungkapkan pemikirannya
tentang kolonialisme, perjuangan untuk kemerdekaan, nasionalisme dan
pendidikan. Tulisannya tajam dan elegan. Karena kehebatannya dalam memilih
kata-kata, Adinegoro berhasil lolos dari perangkap hukum yang dibuat pemerintah
kolonial Belanda di Persbreidel-Ordonantie. Adinegoro selalu diawasi karena
aktivitasnya dalam mendukung gerakan nasionalis.
Selama
pendudukan Jepang, Adinegoro memimpin harian Sumatera Shimbun. Lalu ia
ditugaskan sebagai Kepala Departemen Umum Chuo Sangi Sumatera Kai, dan
Adinegoro pindah ke Bukittinggi. Setelah proklamasi kemerdekaan, Adinegoro
ditugaskan sebagai kepala Komite Nasional Sumatera. Dia mendorong orang-orang
Sumatera untuk melaksanakan perintah Presiden: mengambil alih pemerintahan dari
Jepang dan menyatakan proklamasi kemerdekaan bersama pemimpin lokal.
Setelah
kemerdekaan, Adinegoro menjalankan koran Kedaoelatan Rakyat. Ia juga mendirikan
layanan Newswire Antara cabang Sumatera. Kemudian, bersama Prof Dr Supomo, ia
memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948-1950).
Adinegoro
berkesempatan meliput KMB, Den Hag, pada 1949. Ia juga mendirikan penerbitan
Djambatan sebagai penghubung dua pihak yang berseteru, Indonesia dan Belanda,
dengan membuka saling pengertian melalui buku.
Pada
1951 Adinegoro memimpin Aneta. Pada 1956 Adinegoro menasionalisasikannya dengan
mengubah namanya menjadi Persbiro Indonesia. Masa itu Adinegoro ikut melawat ke
Moskow bersama rombongan Presiden Soekarno, dan meliput sidang PBB soal Irian
Barat di Amerika 1957.
Pada
1963, ketika Persbiro Indonesia digabungkan dengan Antara, Adinegoro diberi
posisi sebagai dewan pengawas dan anggota dewan pemimpin.
Ajip
Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa
Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh
menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya, Darah
Muda dan Asmara Djaja, Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut,
melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat
kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di
samping Darah Muda dan Asmara Djaja, karya Adinegoro lainnya, Melawat ke Barat,
kerap dianggap memiliki kualitas sastra. Isinya berupa kisah perjalanan
Adinegoro ke Eropa, yang sebelumnya telah terbit sebagai laporan jurnalistik
Perjalanan ke Barat pada 1930.
Adinegoro
juga terlibat dalam Polemik Kebudayaan yang terjadi pada 1935. Esainya, yang
merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul Kritik atas Kritik terhimpun
dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori Achdiat Karta Mihardja (1977).
Dalam
esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat
dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan
khas yang tak dapat ditiru orang lain. Adinegoro memberikan perbandingan yang
menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga,
demikian sebaliknya
Karya-karyanya
:
Dua
buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang
membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya,
adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah
Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang
Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku
dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat
kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang
menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di
samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke
Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini
diterbitkan pada tahun 1930.
Selain
itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935.
Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas
Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K.
Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur
tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan
pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain.
Ia
memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan
menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
Pada
tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat
atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam,
Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku
Atlas Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan
dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang sama setelah
atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk Sekolah
Landjutan
Pada
tahun 1954, ia menerbitkan ensiklopedia pertama dalam bahasa Indonesia,
Ensiklopedi Umum Dalam Bahasa Indonesia.
Dedikasinya
:
Bersama
beberapa wartawan Indonesia, Adinegoro melawat ke Nederland untuk meliput
Konferensi Meja Bundar (KMB). Tahun 1949 ia kembali ke Nederland untuk membuat
atlas dunia. Inilah atlas pertama dalam bahasa Indonesia yang kemudian
diterbitkan oleh Penerbit Djambatan. Dua tahun lamanya dia berada di negeri
Belanda untuk menyelesaikan tugasnya itu.
Bersama
tokoh-tokoh masyarakat lainnya, Adinegoro mendirikan Perguruan Tinggi
Jurnalistik di Jakarta yang berkembang menjadi IISIP (Institut Ilmu Sosial dan
Ilmu Publisistik). Adinegoro pula yang mengambil prakarsa (bersama PWI Cabang
Bandung) mendirikan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas
Padjadjaran Bandung. Beberapa waktu sebelum Adinegoro meninggal dunia,
universitas tersebut menganugerahkan gelar Doktor H.C., dalam ilmu publisistik.
Bung
Karno pernah menawari jabatan duta besar, tetapi Adinegoro menolaknya. Ia
sempat menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Pada
akhir hayatnya, Adinegoro bekerja di kantor berita Antara setelah cukup lama
bekerja di kantor berita PIA. Djamaluddin Adinegoro, yang pada tahun 1972
dianugerahi penghargaan sebagai Perintis Pers, meninggal dunia pada hari
Minggu, 8 Januari 1968 dalam usia 64 tahun. Ia dimakamkan di Pekuburan Karet. Pada batu nisannya
tertulis, “Djamaluddin Adinegoro Gelar Datuk Maradjo Sutan”.
Sejak
tahun 1974 PWI Jaya mengabadikan namanya untuk menamai penghargaan bagi karya
jurnalistik terbaik yang diselenggarakan setiap tahun. Pada awalnya penghargaan
tersebut diberi nama "Hadiah Adinegoro", tetapi diubah menjadi Anugerah
Adinegoro.
Setelah
kurang lebih 20 tahun menjadi program
PWI Jaya, sejak tahun 1994 Anugerah Adinegoro dialihkan menjadi program PWI
Pusat, atas kesepakatan antara PWI Pusat, Yayasan Adinegoro dan PWI Jaya. (gigiharis.wordpress.com/em)
0 comments:
Posting Komentar