Oleh: Ir. H. Emzalmi, M.Si
*)Wakil
Walikota Padang/Ketua Badan Narkotika Kota (BNK) Padang
Komunitas
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) belakangan ini semakin meluas
dan berani menunjukkan eksistensinya. Bahkan baru-baru ini dunia dihebohkan
dengan tayangan video yang menjadi viral di media sosial, dimana
mempertontonkan upacara pernikahan kaum gay yang berlangsung di Arab Saudi.
Kendati aparat Arab Saudi bertindak cepat menyelidiki dan meringkus sejumlah orang yang tampak dalam video itu,
namun peristiwa tersebut telah menunjukkan agar kita tidak boleh lengah atau
menganggap remeh perkembangan LGBT.
Salah
satu penyakit mematikan akibat tabiat menjalin asmara sesama jenis ini adalah
HIV/AIDS. Sebagaimana diketahui, Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dapat ditularkan melalui tranfusi
darah, jarum suntik, dan hubungan seksual. Para pelaku narkoba yang menggunakan
jarum suntik secara bersama dan para homoseksual merupakan kelompok paling
rentan terkena HIV/AIDS.
Menangani
persoalan perilaku menyimpang LGBT ini diakui bukan persoalan mudah karena kaum
LGBT sebagian besar tidak menyadari bahwa perilaku ganjil mereka tergolong
suatu penyakit yang perlu segera diobati. Berbeda dengan seseorang yang sakit
demam misalnya, ia akan cepat-cepat pergi ke dokter untuk memeriksakan diri dan
mendapatkan obat. Sementara, kaum LGBT cenderung menganggap dirinya normal dan
telah ditakdirkan menjadi LGBT layaknya orang lain yang ditakdirkan berkulit
hitam, putih, kuning atau coklat. Mereka berpikir bahwa LGBT merupakan bawaan
genetik, sama seperti orang yang terlahir berhidung mancung, mata sipit, atau
berambut ikal. Kaum LGBT hanya berobat
bila sudah terkena penyakit kelamin, kanker anus, kanker mulut atau virus HIV.
Parahnya,
komunitas LGBT saat ini justru ingin mendapatkan perlakuan dan persamaan hak.
Mereka berupaya agar pemerintah dan masyarakat dapat menerima keberadaan kaum
LGBT dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, kaum LGBT dapat melangsungkan
pernikahan, hidup berumahtangga, memiliki keturunan (dengan mengadopsi anak
atau melalui--istilah mereka--sewa rahim), hak untuk bekerja dalam profesi
apapun, serta hak-hak lainnya.
Perilaku
LGBT harus segera diobati bukan malah diberi tempat. Yang dikhawatirkan adalah
bila LGBT sudah memperoleh tempat, maka kaum penyimpang orientasi seksual
lainnya seperti kaum pedophilia (penyuka seks dengan anak-anak), zoophilia
(penyuka seks dengan hewan) dan kaum incest (penyuka seks dengan saudara
kandung) juga akan menuntut hak kesetaraan layaknya kaum LGBT.
Melalui
surah Allah SWT berfirman, “Dan (Kami
juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata
kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum
pernah dilakukan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? Sesungguhnya
kalian telah melampiaskan syahwat kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan.
Kalian benar-benar kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 80-81). Fahisyah
adalah perbuatan yang sangat hina dan rendah (menjijikan) yang kemudian diganjar
hukuman yang mengerikan oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam Al-Hijr:
73-75, “Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika
matahari akan terbit. Maka Kami jungkirbalikan (negeri itu) dan Kami hujani
mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berfikir.
Nabi
Muhammad SAW pun pernah bersabda, “Allah melaknat siapa saja yang berbuat
seperti perbuatan kaum Nabi Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)”
(HR. Nasa’i).
Peringatan
keras dari Allah SWT dan Rasul-Nya tersebut semestinya menjadi perhatian serius
bagi pelaku LGBT untuk kembali sadar dan berjalan pada fitrah yang lurus sesuai
ajaran Islam. Pihak keluarga sebagai orang terdekat hendaknya dapat melakukan
pengamatan dan pengawasan terhadap anggota keluarganya yang lain, bila
menemukan kejanggalan, dapat mengkomunikasikannya dengan baik, penuh
kepedulian, dan rasa kasih sayang layaknya menangangani anggota keluarga kita yang
sedang mengalami sakit.
Penyimpangan
perilaku LGBT ini dapat diobati dengan kesadaran penderitanya yang didukung
oleh lingkungan sekitar yang kondusif. Faktor lingkungan sosial adalah hal
mutlak yang memengaruhi lambat tidaknya kesembuhan si penderita. Akan percuma
saja bila si penderita LGBT berkeinginan sembuh tetapi tetap saja bergaul
dengan komunitas LGBT.
Pada
akhirnya, pemerintah dan masyarakat harus memberikan tempat bagi kaum LGBT
untuk berobat dan bertobat. Secara persuasif dapat dilakukan komunikasi dengan
komunitas LGBT untuk kembali ke jalan yang benar. Pendekatan agama maupun adat
budaya dapat dijadikan modal dalam membangkitkan kesadaran bagi kaum LGBT agar
bersedia melakukan terapi ke psikolog.
Sedangkan
sebagai langkah preventif, tiap-tiap keluarga hendaknya selalu membangun
keharmonisan dalam berumahtangga. Orangtua agar menanamkan nilai-nilai agama
kepada anak-anaknya semenjak dini, melakukan pengawasan terhadap lingkungan
pergaulan, dan membiasakan melakukan dialog dalam memecahkan suatu masalah
dalam keluarga. Kekerasan dalam rumahtangga hanya akan memberikan trauma
psikologis yang membekas dalam jiwa sang anak sehingga rentan dengan
pengaruh-pengaruh yang menyimpang.
Pada
akhirnya, menyadarkan dan mengobati LGBT menjadi tugas kita bersama, yakni
dengan menjalankan peran kita masing-masing, apakah selaku pemerintah, ulama,
ninik mamak, kaum terpelajar maupun sebagai anggota keluarga. Karena tentunya,
(sama-sama kita berdoa) kita tidak menginginkan laknat Allah SWT seperti yang
telah dialami oleh umat Nabi Luth ditimpakan kepada kita karena membiarkan kaum
LGBT melampaui batas. (*)
0 comments:
Posting Komentar