JAKARTA, (GemaMedianet.com) — Lambang negara Garuda
Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta bendera Merah Putih, sudah
semestinya dimaknai sebagai batu pondasi dari kebangsaan Indonesia.
“Kebesaran suatu bangsa bisa diukur dari sejauh mana
bangsa itu sadar akan sejarahnya. Berbekal kesadaran itulah sejatinya tercermin
dalam ingatan dan penghargaan terhadap simbol-simbol Negara,” ujar Direktur
Sejarah, Triana Wulandari usai pembukaan pameran “Merayakan Sang Merah Putih”
di Gedung Plasa Insan Berprestasi, Kompleks Kemdikbud, Jakarta, Jumat
(10/11/2017).
Sejarah mencatat wawancara Cindy Adams dengan
Presiden Soekarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dalam buku yang
terbit pada 6 Juni 1966 dan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-65.
Sang proklamator berkisah tentang kesederhanaan
jalannya peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia itu. “Istriku
(Fatmawati) telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain putih dan
sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera pertama
dari republik ini,” ujarnya.
Tentu saja, sebutnya, pilihan bendera negara dengan
warna merah putih memang tidak hadir dari ruang hampa, melainkan untuk
memahaminya tidak hanya selembar kain belaka.
Untuk pilihan bentuk dan warnanya merangkum nilai
dan makna filosofis yang disepakati sebagai identitas bersama dari sebuah
bangsa. Bendera merangkum nilai-nilai heroisme, patriotisme sekaligus
nasionalisme. Merah putih tidak sekedar warna bendera negara Indonesia.
Melainkan terangkum di dalamnya kearifan lokal dan refleksi nilai-nilai
visioner yang terjalin dalam identitas politik yang menyatuka. “Merah putih
memiliki makna yang lebih substansial dari sekedar warna sebuah bendera
negara,” ucapnya.
Menurut Muhammad Yamin bahwa peristiwa-peristiwa politik
di Indonesia juga bergerak bersama bendera. Kehadiran bendera menentukan
ideologi dari pergerakan-pergerakan politik di Indonesia pada abad XX. Selain
itu, Perhimpunan Indonesia (1922) memakai bendera merah putih kepala kerbau,
Partai Nasional Indonesia (1928) memakai merah putih kepala banteng, Kongres
Pemuda II (1928) memakai merah putih garuda terbang, Partindo (1933) memakai
merah putih banteng.
“Berbagai pilihan itu memuncak pada konsensus
politik untuk memutuskan bendera merah putih sebagai bendera resmi Negara
Indonesia. Legitimasi politik itu ada dalam konstitusi UUD 1945 dan Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1958 mengenai bendera Indonesia,” tandasnya.
Direktorat Sejarah, Kemdikbud, menggelar pameran
kesejarahan mulai tanggal 10 – 14 November 2017 dengan mengambil tema “Sang
Merah Putih : Sejarah dan Maknanya” memamerkan foto-foto, cover surat kabar,
buku-buku koleksi Arsip Nasional RI dan Perpustakaan Nasional RI.
“Kami mengucapkan terima kasih atas peran serta dari
Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional RI pada pameran kesejarahan kali ini,”
pungkasnya. (rel)
0 comments:
Posting Komentar