JAKARTA, (GemaMedianet.com) – Sejumlah pakar hukum pidana menilai Vonis
dua tahun penjara yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
terhadap Basuki Tjahaja Purnama yang disebut-sebut melebihi tuntutan jaksa
dalam sidang kasus penistaan agama, Selasa (9/5/2017) adalah lumrah.
Seperti
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir,
mengatakan tak ada aturan yang melarang hakim memutus perkara lebih dari yang
dituntut oleh jaksa. "Kasus (vonis sidang) seperti ini sudah sering
terjadi. Ini lumrah," ujar Mudzakir seperti dilansir www.cnnindonesia.com.
Mudzakir mengatakan, setiap peserta sidang pada prinsipnya mempunyai hak untuk mengambil kesimpulan atas perkara yang disidangkan. Kesimpulan itu bisa datang dari jaksa penuntut umum, penasihat hukum, terdakwa, dan hakim selaku pengadil.
Mudzakir mengatakan, setiap peserta sidang pada prinsipnya mempunyai hak untuk mengambil kesimpulan atas perkara yang disidangkan. Kesimpulan itu bisa datang dari jaksa penuntut umum, penasihat hukum, terdakwa, dan hakim selaku pengadil.
Jaksa
menyimpulkan tuntutan atas perkara yang mereka dakwakan. Sementara pensihat
hukum dan terdakwa menyimpulkan pembelaan atas dakwaan melalui pledoi atau nota
pembelaan. "Hakim pun demikian. Hakim punya kewajiban memeriksa dakwaan
untuk kemudian disimpulkan dalam bentuk putusan," kata Mudzakir.
Rujukan
hakim dalam menjatuhkan vonis, kata Mudzakir, tidak terlepas dari fakta
persidangan. Pertimbangan itu kemudian dijadikan sebagai pegangan hakim dalam
menyimpulkan perkara. "Jadi vonis hakim yang berbeda dengan tuntutan jaksa
ini bukan sebuah persoalan, karena hakim tetap merujuk pada dakwaan kasus yang
dipersidangkan," kata dia.
Artinya,
kata Mudzakir, vonis hakim tak berarti melulu mengikuti apa yang dituntutkan
oleh jaksa. "Justru kalau begitu terus (vonis mengikuti tuntutan) yang
berbahaya," sebut Mudzakir.
Pakar
hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chodry Sitompul, dalam hukum ada
istilah ultra petita,
yang berarti penjatuhan putusan hakim atas sebuah perkara yang tidak masuk
dalam dakwaan dan memutus melebihi dari yang didakwakan.
Sebagai
contoh, kata Chodry, hakim memvonis terdakwa dengan melibatkan pasal yang
sebelumnya tidak ada dalam dakwaan dan/atau menjatuhkan hukuman lebih tinggi
dari hukuman pidana pasal yang ada di dalam dakwaan. "Vonis Ahok dalam hal
ini tidak tergolong dalam ultra
petita, karena hakim tetap berpegang pada dakwaan meski putusannya
melibatkan pasal yang tidak ada dalam tuntutan jaksa," kata Chodry.
Jaksa
menuntut Ahok satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Dalam
tuntutannya jaksa menghilangkan pasal penodaan agama dan hanya menuntut Ahok
dengan pasal 156 KUHP tentang pernyataan permusuhan dan kebencian pada suatu
golongan.
Namun hakim dalam menjatuhkan vonis kembali melibatkan pasal 156a KUHP. Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto dalam vonisnya menyatakan bahwa Ahok selaku terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penodaan agama.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai hakim telah bersikap independen menyimpulkan kembali perkara dengan berdasar pada dakwaan kasus penistaan agama. "Hakim telah melaksanakan kewajibannya sesuai koridor hukum dan keadilan," kata Abdul.
Namun hakim dalam menjatuhkan vonis kembali melibatkan pasal 156a KUHP. Ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto dalam vonisnya menyatakan bahwa Ahok selaku terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penodaan agama.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai hakim telah bersikap independen menyimpulkan kembali perkara dengan berdasar pada dakwaan kasus penistaan agama. "Hakim telah melaksanakan kewajibannya sesuai koridor hukum dan keadilan," kata Abdul.
Vonis
dua tahun penjara yang diketok palu di pengadilan merupakan buntut dari
rangkaian panjang perjalanan kasus Ahok yang bergulir sejak tahun lalu. Ahok
diseret ke meja hijau setelah massa di ibu kota menggelar aksi berjilid
menuntut Ahok dipenjara.
Kasus yang menyita perhatian dunia ini bermula dari pernyataan Ahok yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
Kasus yang menyita perhatian dunia ini bermula dari pernyataan Ahok yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
Usai
ditetapkan sebagai tersangka, Ahok lantas didakwa melanggar pidana alternatif
kedua pasal 156 KUHP tentang penodaan agama dengan ancaman hukuman paling lama
lima tahun. Kini
Ahok telah digiring ke Rumah Tahanan Cipinang. Hakim telah memutuskan agar Ahok
segera ditahan atas perbuatannya menyitir ayat dari kitab suci Alquran. (gil)
0 comments:
Posting Komentar