(GemaMedianet.com) –
Menarik
jika kita membaca surah Al-Fatihah, dimana hanya ada satu doa di dalamnya,
yakni Ihdinashiraatalmustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus. Ayat
setelahnya tidak menunjukkan jalan yang lurus itu seperti apa, namun
menunjukkan orang-orang yang telah melaluinya.
Menarik
karena di sini ditunjukkan bahwa untuk berada di jalan tersebut, kita tidak akan
bisa sendiri, tapi harus bersama-sama dengan orang-orang lain. Juga bagaimana
orang-orang terdahulu berada di jalan tersebut. Maka penting bagi kita untuk
mengenal, mempelajari serta mendalami jalan orang-orang tersebut. Salah satu
yang dekat jaraknya
dengan kita, baik segi zaman maupun tempat adalah Buya Hamka, seorang ulama
terkemuka pada pertengahan 1900-an.
Baca Juga :
Anies Baswedan Akui Minang Penghasil Pahlawan dan Ulama Terbanyak
Hamka lahir pada tahun 1908, nama lahir beliau adalah Malik, namun namanya lalu ditambahi dengan kata 'Abdul' di depan dan 'Karim Amrullah' di belakang, nama ini mengacu pada nama ayah dan kakeknya, sehingga nama lengkapnya menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, yang juga sering dipanggil Haji Rasul. Haji Rasul ini termasuk ulama besar asal Minangkabau pada masa itu. Ia juga merupakan murid dari Syaikh Imam Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan Imam Masjidil Haram asal Indonesia pada saat itu. Haji Rasul bisa disebut sebagai 'kakak kelas' dari K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) karena keduanya juga merupakan murid dari Syaikh Imam Khatib Al-Minangkabawi. Maka Syaikh ini merupakan orang yang luar biasa, karena meski tidak kembali ke Indonesia, namun ia mengkader orang-orang yang nantinya menjadi ulama besar di Indonesia.
Hamka lahir pada tahun 1908, nama lahir beliau adalah Malik, namun namanya lalu ditambahi dengan kata 'Abdul' di depan dan 'Karim Amrullah' di belakang, nama ini mengacu pada nama ayah dan kakeknya, sehingga nama lengkapnya menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, yang juga sering dipanggil Haji Rasul. Haji Rasul ini termasuk ulama besar asal Minangkabau pada masa itu. Ia juga merupakan murid dari Syaikh Imam Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan Imam Masjidil Haram asal Indonesia pada saat itu. Haji Rasul bisa disebut sebagai 'kakak kelas' dari K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) karena keduanya juga merupakan murid dari Syaikh Imam Khatib Al-Minangkabawi. Maka Syaikh ini merupakan orang yang luar biasa, karena meski tidak kembali ke Indonesia, namun ia mengkader orang-orang yang nantinya menjadi ulama besar di Indonesia.
Haji
Rasul merupakan ulama yang begitu teguh dalam melawan Jepang dan Ahmadiyah.
Haji Rasul termasuk orang yang enggan melakukan Seikerei (sama seperti K.H.
Hasyim Asy'ari) yang diperintahkan Jepang. Ia bersama ulama lainnya
mendirikan sekolah Islam yang bernama Sumatera Thawalib. Lalu beberapa muridnya
berguru ke India, namun sekembalinya dari sana mereka malah membawa ajaran
Ahmadiyah. Maka Haji Rasul melawan pemikiran ini hingga Ahmadiyah pun tak
tumbuh subur di tanah Minangkabau, ia juga adalah orang pertama yang menuliskan
buku untuk melawan Ahmadiyah. Menariknya lagi saat Ahmadiyah lari ke Bandung, mereka
bertemu dengan Syaikh Ahmad Hasan, yang merupakan pendiri Persis (Persatuan
Islam) sehingga kembali Ahmadiyah tidak begitu berkembang.
Kembali
kepada kisah Hamka, pada usia 16 tahun ia pergi ke Jawa dan sempat berguru
dengan H.O.S Tjokroaminoto, juga bertemu dengan Haji Agus Salim. Tiga tahun
setelahnya ia pergi haji sendirian. Uniknya, ayahnya yang kala itu sedang
menghadiri Konferensi Khilafah di Mesir tidak tahu tentang kepergian anaknya
untuk berhaji. Momen haji inilah yang menjadikan Haji Rasul lebih
memperhatikan Hamka daripada sebelumnya.
Hamka
tumbuh dan memiliki kehausan akan ilmu. Selain pada ayahnya, ia berguru pada
ulama-ulama lainnya yang berada di daerahnya. Ia juga rela untuk bekerja di
sebuah percetakan asalkan dirinya diperkenankan membaca buku yang dicetak di
sana. Hal-hal ini diantaranya yang menjadikan pemikiran dan ilmu Hamka begitu
luas, meski pendidikan formalnya hanya sampai sekolah dasar.
Hamka
dikenal sebagai ulama besar Muhammadiyah. Ia juga merupakan penulis yang
begitu produktif, karyanya meliputi berbagai bidang, seperti sastra (termasuk
penulis novel-novel, seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck, dan lain sebagainya), filsafat, juga buku keagamaan. Salah
satu bukunya yakni berjudul Pendidikan Agama Islam cukup dikenal, buku
ini berisi mengenai Rukun Iman yang ia jabarkan lebih dari 400 halaman. Selain
itu, tentunya yang terkenal dari karyanya adalah Tafsir Alquran yang diberi
nama Tafsir Al-Azhar.
Tafsir
Al-Azhar mengambil inspirasi dari karya tafsir lainnya, yakni Tafsir Al-Manar
(Syaikh Rasyid Ridha) serta Tafsir Fii Zhilalil Qur'an (Sayyid Quthb).
Nama Al-Azhar sendiri diambil dari Universitas Al-Azhar, yang mana Hamka
mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa atas ceramahnya saat itu mengenai
pengaruh pemikiran Muhammad 'Abduh di Indonesia dan Malaysia. Selain itu,
Masjid Raya Kebayoran Baru yang dekat dengan tempat tinggal Hamka pun diubah
namanya menjadi Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. Penulisan Tafsir Al-Azhar ini
memerlukan waktu bertahun-tahun. Dua setengah juz beliau selesaikan dalam dua
tahun pertama, sementara 27,5 juz sisanya ia tuliskan juga dalam dua tahun,
namun bedanya saat itu ia menuliskannya di penjara (dipenjarakan oleh rezim
Orde Lama).
Selain
sebagai ulama dan penulis produktif, Hamka dikenal pula sebagai politisi
Masyumi serta anggota Konstituante. Hamka bahkan pernah terlibat dalam
perdebatan mengenai Pancasila sebagai dasar negara. Menurutnya, Pancasila
bukanlah dasar negara, namun falsafah dasar negara dengan Islam yang bisa
menjadi dasar negaranya. Namun ini bukan berarti ia menolak negara ini, bahkan
Hamka dikenal dengan pertarungan gerilyanya melawan penjajah.
Hamka
juga merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Namun ia
pernah bersitegang dengan Orde Baru terkait fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa
MUI, yakni mengenai haramnya perayaan Natal bersama. Perayaan Natal bersama ini
bukan bermaksud mengharuskan umat Islam ikut merayakan Natal, namun
karena pada masa itu Idul Fitri dan Natal waktunya berdekatan, maka tercetuslah
perayaan Natal bersama ini. Fatwa dari Komisi Fatwa MUI (bukan pendapat pribadi
Hamka) ini lalu dicabut peredarannya (bukan mencabut
fatwa), selepas itu Hamka mundur dari jabatannya.
Menariknya,
selepas itu Hamka membuat tulisan yang intinya mengenai fatwa yang tidak bisa
dicabut setelah dikeluarkan. Terkait fatwa perayaan Natal bersama, bila Komisi
Fatwa MUI mengeluarkan fatwa haram, maka Hamka secara pribadi berpendapat bahwa
tindakan itu adalah tindakan murtad, pendapat yang lebih keras dari Komisi
Fatwa MUI. Pendapatnya ini berdasarkan surah Al-Mumtahanah.
Tidak Punya Bakat Pendendam
Hamka dikenal pula sebagai sosok yang "tidak punya bakat pendendam". Kisah Hamka yang mengimami shalat jenazah Ir.Soekarno begitu dikenal, meski Soekarno pernah memenjarakan Hamka tanpa alasan yang jelas, namun Hamka mau untuk menjadi imam shalat jenazahnya. Hamka dan Soekarno sendiri sebenarnya begitu dekat, karena Soekarno juga dekat dengan Haji Rasul, ayah Hamka.
Hamka dikenal pula sebagai sosok yang "tidak punya bakat pendendam". Kisah Hamka yang mengimami shalat jenazah Ir.Soekarno begitu dikenal, meski Soekarno pernah memenjarakan Hamka tanpa alasan yang jelas, namun Hamka mau untuk menjadi imam shalat jenazahnya. Hamka dan Soekarno sendiri sebenarnya begitu dekat, karena Soekarno juga dekat dengan Haji Rasul, ayah Hamka.
Selain
itu, Hamka pun mau untuk melaksanakan permintaan Muhammad Yamin, seorang Minang
yang dari segi pemikiran begitu sekuler serta pemikirannya tentang Majapahit
yang bertolak belakang dengan orang-orang Minang. Permintaan terakhir Muhammad
Yamin ini agar Hamka mau mengusahakan jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya.
Begitu
pula dengan kisah Hamka yang mau untuk membimbing calon suami dari Astuti
Ananta Toer (anak dari Pramoedya Ananta Toer). Pramoedya sendiri dikenal begitu
tajam pendapatnya dengan Hamka dan sangat bertolak belakang.
Selama
dua puluh tahun akhir hidupnya Hamka menderita diabetes. Selain itu ia pun
menderita penyakit jantung selama enam bulan terakhirnya. Saat berada di
ICU dalam masa-masa akhirnya, Hamka selalu diberi obat penenang,
namun ia selalu terbangun pada waktu shalat, bahkan bisa memanggil perawat
untuk membantunya berwudhu, lalu shalat, selepas shalat ia pingsai kembali.
Hamka lalu akhirnya wafat pada 24 Juli 1981, dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Hamka,
sosok ulama besar yang tak hanya sebagai pemuka agama, namun juga seorang pejuang
kemerdekaan, sastrawan, penulis dan lain sebagainya. Ia merupakan seorang
otodidak, berwawasan luas, selalu mengagungkan persatuan, menolak perdebatan
mengenai masalah furu'iyyah, dan tegas dalam berislam. Namun meski
begitu ada "kekurangan" dari Hamka, yakni beliau tidak mengkader
orang, ia tidak mempunyai murid khusus yang nantinya juga menjadi tokoh besar. (Firman Maulana)
0 comments:
Posting Komentar