SIDNEY, (Gemamedianet.com) – Antoni Tsaputra, ASN (PNS) Pemko Padang ini sekarang sedang
menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas New South Wales di Sydney.
Menjadi difabel, harus menggunakan kursi roda sejak kecil tidaklah menjadi
halangan baginya untuk melanjutkan pendidikan, bahkan di Australia.
Berikut perbincangan Antoni Tsaputra dengan wartawan ABC Australia Plus
Indonesia Sastra Wijaya yang dilakukan lewat email, seperti dikutip dari http://www.australiaplus.com.
Bagaimana perjalanan sampai anda bisa
sekolah di Sydney?
"Saya bisa melanjutkan studi di Sydney atas dukungan dari pemerintah Indonesia
dengan Beasiswa penuh dari LPDP Kementerian Keuangan RI. LPDP juga
memfasilitasi istri dan ayah saya untuk mendampingi dan merawat saya selama
studi di Sydney. Kedutaan Australia di Indonesia juga membantu pengurusan visa
saya dan keluarga karena tidak mudah bagi penyandang disabilitas fisik berat
(quadriplegia) seperti saya bisa mendapatkan visa untuk long term stay di
Australia".
Latar belakang sekolah dan pekerjaan
anda sebelumnya?
"Saya menyelesaikan studi S1 di Universitas Andalas Padang bidang
Sastra Inggris tahun 2000. Kemudian tahun 2011 saya meraih gelar Master of Arts
dari Griffith University di Brisbane bidang Journalism and Mass Communication
dengan dukungan dari pemerintah Australia (dulu Australian Development
Scholarship). Sejak 2004 sampai sekarang saya tercatat sebagai pegawai negeri
sipil di Pemerintah Kota Padang. Sejak 2011 saya juga aktif dalam gerakan hak
kelompok difabel (disability rights movement) di Indonesia terutama di bidang
advokasi hak-hak penyandang disabilitas".
Latar belakang keluarga sekarang di
Sydney dan dulu di Indonesia?
"Saya merasa beruntung karena keluarga bisa tetap bersama saya di
Sydney sehingga tidak begitu merasakan homesick. Istri saya Yuki Melani berasal
dari Pontianak, yang saya kenal melalui sosial media, merelakan melepas
karirnya yang sedang bagus di sebuah perusahaan ekspedisi terkemuka di
Indonesia untuk menikah dan tinggal bersama saya di Padang. Istri saya selalu
mendampingi dan membantu saya 24 jam di kantor dan di rumah. Ayah saya Effendi
seorang pensiunan PNS juga selalu membantu mengurus saya. Ibu saya Tasmaniar
sekali setahun juga mengunjungi kami beberapa bulan di Sydney. Kisah hidup saya
sudah ditulis kedalam novel terbitan Republika dengan judul Sedikit di Atas
Cinta".
Sebagai seorang difabel, bagaimana
perbedaan situasi di Indonesia dan di Australia berkenaan dengan hal ini
(fasilitas di kampus, rumah dan sekolah)?
"Selama tinggal di Australia saya merasakan dan menikmati kebebasan
gerak dan mobilitas dikarenakan fasilitas umum dan transportasi yang sangat
accessible bagi pengguna kursi roda; ditambah lagi ketersediaan teknologi yang
membantu (assistive technology) seperti kursi roda listrik (electric
wheelchair) yang sangat menunjang mobilitas saya. Saat saya studi S1 di
Indonesia dulu sama sekali tidak ada fasilitas fisik dan non-fisik yang
mengakomodir kebutuhan khusus mahasiswa disabilitas terutama pengguna kursi
roda. Semua harus saya dan keluarga pikirkan sendiri bagaimana mengatasi
ketiadaan akses di kampus dan fasilitas umum. Namun beberapa tahun terakhir
berkat perjuangan advokasi teman-teman disabilitas di Indonesia sudah mulai ada
sedikit perubahan seperti beberapa kampus di Yogyakarta sudah mulai membangun
akses kursi roda. Saya berharap ke depannya Indonesia akan semakin inklusif
terhadap penyandang disabilitas dalam pembangunan. Jika saat ini Indonesia
memfokuskan pada pembangunan infrastruktur maka inklusivitas disabilitas
seharusnya juga bisa diintegrasikan ke dalamnya melalui perencanaan dan
penganggaran pembangunan infrastruktur yang inklusif disabilitas. Dengan
demikian sebagai contoh ketika membangun sarana umum dan transportasi juga
dipikirkan apa yang menjadi kebutuhan khusus disabilitas".
Kesulitan apa yang anda paling rasakan
dalam studi ini, apakah kesulitan fisik atau lebih pada masalah pandangan atau
persepsi orang lain terhadap mereka yang difabel?
"Selama menempuh studi di Australia saya bisa katakan tidak ada
kesulitan fisik yang saya hadapi dikarenakan ketersediaan aksesibilitas fisik
dan assistive technology yang saya bilang tadi. Meskipun beberapa teman
disabilitas warga Australia mengeluhkan masih adanya masalah pandangan atau
persepsi masyarakat, namun secara pribadi saya belum mengalaminya di sini.
Kesulitan nya ya mungkin dari studi PhD itu sendiri yang memang sulit dan
dialami oleh semua mahasiswa PhD".
Apa nasehat anda bagi mereka yang
berada dalam situasi yang sama dengan anda dan bercita-cita juga melakukan hal
yang sama (melanjutkan pendidikan misalnya)?
"Untuk teman-teman disabilitas di Indonesia, Australia atau dimana saja
yang ingin maju di pendidikan saya ingin sampaikan bahwa tetap berusaha
mewujudkan impian melanjutkan studi setinggi-tingginya. Pendidikan adalah salah
satu jalan bagi disabilitas atau difabel untuk bisa hidup mandiri dan
berkontribusi positif ke masyarakat dan pemerintah. Dengan pendidikan kita bisa
membuat perubahan yang berarti (make meaningful changes) termasuk mengubah
pandangan stereotip masyarakat tentang penyandang disabilitas. Percayalah
selalu ada jalan jika kita bersungguh-sungguh. Disabilitas tidak akan menjadi
penghalang bila kita memiliki kemauan yang kuat . "Man Jadda Wa
Jadda" (Siapapun Berusaha Keras Akan Mencapai Keberhasilan )". (LL/Tf)
Ket Foto: Antony Tsaputara & Penyandang Disabilitas Kota Padang bersama
Walikota Padang H. Mahyeldi Ansharullah, SP dan Wakil Walikota Padang Ir.
Emzalmi, M.SI, saat meresmikan Jalan Ramah Disabilitas (Jln. Permindo Padang),
30/09/2016 lalu.
0 comments:
Posting Komentar